Langsung ke konten utama

Mengunjungi Desa-Desa Terpencil di Tambora

Kecamatan Tambora Kabupaten Bima Provinsi NTB kerap menarik perhatian setiap orang untuk berkunjung ke sana, tidak hanya karena keindahan hutan dan misteri gunungnya, namun juga sejumlah potensi di wilayah itu seperti hasil perikanan dan pertanian, situs geologi menjadi magnet bagi warga luar. Berikut catatan Fachrunnas.



 
Ada dua alternatif jika ingin ke ibukota Kecamatan Tambora Kabupaten Bima, setelah tiba desa Soriutu Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu pengendara bisa melanjutkan perjalanan melalui Kecamatan Pekat. Jika melalui jalur tersebut, pasti akan melewati desa Nanga Miro Kabupaten Dompu, sedangkan jalur alternatif lain akan melalui sejumlah desa di Kecamatan Sanggar seperti Taloko, Sandue, Kore, dan Piong. Karena jalan setelah Kecamatan Sanggar sangat parah dan jarak antar-desa sangat jauh, umumnya pengendara lebih banyak memilih jalur melalui Kecamatan Pekat, termasuk yang dipilih saya dan saat berkunjung ke Kecamatan tersebut Sabtu lalu.

Jika menempuh perjalanan jauh misalnya menuju ibukota Kabupaten Bima, Dompu atau sebaliknya menuju Kecamatan Tambora, bila tidak membawa bekal makanan, warga setempat atau pendatang biasanya akan mampir di warung makan di desa Oi Hodo Dompu. Maklum saja kondisi jalan bergelombang, rusak parah penuh kerikil,kerakal, pasir dan lempung akan menyebabkan siapa yang melewati jalan itu cepat lapar, apalagi jika menggunakan sepeda motor.

Tidak saja sekadar karena kebutuhan mengisi perut, keindahan pantai mata air tawar di bibir pantai selalu menarik perhatian dan menjadi penawar letih pengendara untuk sementara. Sebagian orang menyebut, tidak afdol ke Tambora bila belum mampir dan menikmati pemandangan di desa tersebut.

Dari pusat Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu hingga menuju desa Oi Hodo, pengendara akan menempuh medan bergelombang penuh batu dan kerikil hingga 90 kilometer dengan waktu tempuh rata-rata 3,5 jam. Untuk sampai di Kecamatan Pekat, pengendara harus menempuh perjalanan hingga tiga jam atau lebihkurang 85 kilometer.

Memasuki Kecamatan tersebut, pengendara sudah bisa tenang karena akan disuguhi kondisi jalan raya yang terbilang mulus. Hanya saja masih perlu hati-hati karena harus melawati tingkungan dan jalan bergelombang. Setelah melalui ibukota Kecamatan tersebut, pengendara harus menempuh perjalanan sekitar 8 kilometer untuk tiba di desa Nanga Miro Kecamatan Pekat.

Menurut sebagian warga, penduduk setempat umumnya berasal dari wilayah lain seperti Lombok dan Kabupaten Bima, sudah puluhan tahun menetap. Umumnya, penduduk setempat melakoni pekerjaan sebagai nelayan, sisanya bertani dan menjadi peternak kuda. Kendati isu dan perkiraan gunung Tambora akan meletus sempat menyebabkan warga setempat resah dan panik, umumnya hampir seluruh penduduk tidak ingin pindah.

Untuk mencapai perbatasan Kabupaten Dompu dengan Kabupaten Bima hanya butuh waktu beberapa menit. Namun, karena kondisi jembatan yang menghubungkan desa Nanga Miro dengan perbatasan desa Labuhan Kananga sudah ambles dan diganti dengan kayu , tidak ada satu pun mobil yang bisa melalui jalan tersebut kecuali sepeda motor, itu pun butuh kehati-hatian. Bila tidak, bisa fatal, terjatuh dan cidera.

Setelah melalui jembatan, pengendara harus melalui tanjakan jalan rusak lebihkurang satu kilometer dan melalui jalan bergelombang yang sudah diaspal. Saat hendak melewati tanjakan jalan penuh kerakal dan kerikil perbatasan desa Nanga Miro dengan Labuan Kananga, saya dan teman-teman nyaris terjatuh.

Setelah melewati desa Pekat, untuk tiba di desa Labuhan Kenanga, ibukota Kecamatan Tambora, pengendara harus melalui sedikitnya tiga jembatan rusak yang lantainya berbahan kayu setinggi 25 meter dari permukaan sungai. Hanya butuh waktu seperempat jam untuk tiba di Kecamatan Tambora setelah melewati perbatasan Kabupaten Bima dan Dompu.

Setelah benar-benar tiba di Kecamatan Tambora, pendatang baru harus menginjak langsung tanah di wilayah tersebut tanpa alas kaki. Konon, menurut staf kantor Camat setempat, M Amin. Ritual itu sebagai bentuk penghormatan pendatang terhadap kampung tersebut. Bila tidak, harus siap-siap menanggung konsekuensi mistis yang akan timbul. Selain langsung menginjak tanah, pendatang baru harus langsung mandi di aliran sungai di wilayah setempat. Karena cukup sulit mencari penginapan di wilayah tersebut dan pertimbangan hari segera beranjak malam, saya dan teman-teman pun bermalam di kantor Camat Tambora.

 “Jika baru pertamakali ke Tambora, harus segera menginjak tanah di sini sebagai bentuk penghormatan atau persahabatan, tanda kita mau menyatu dengan wilayah di sini. Kalau tidak harus siap-siap sakit, di sini masih kental hal mistis,” ujar M Amin.

Dipercayai atau tidak, menurut Amin yang sudah dua tahun tinggal di wilayah tersebut, tanah Tambora masih kental dengan hal mistis. Bahkan, ada beberapa orang meninggal karena tidak menghormati kebiasaan atau adat setempat. “Belum lama ini ada pegawai di wilayah kami ini yang meninggal saat di atas kendaraan. Bau mistis di daerah ini masih kental. Di sini banyak yang menganggap mereka diserang malaria, padahal bau mistis sangat kuat,” katanya.

Meski masih kental dengan hal mistis, diakui Amin, sudah banyak perubahan di Tambora, termasuk dengan pola pikir masyarakat. Selain itu, saat ini Kecamatan tersebut sudah dialiri listrik, kendati hanya saat malam hari. Sama dengan sejumlah wilayah lain di Kabupaten Bima, penduduk setempat umumnya berkonsentrasi menjadi nelayan dan petani. Sisanya bekerja sebagai buruh. Seain itu, sudah banyak warga yang memiliki jenjang pendidikan lebih baik. 

“Kelebihan Kecamatan Tambora, hasil lautnya dan pertanian. Di sini mancing beberapa menit sudah dapat ikan beberapa ember, selain itu juga bisa dapat ikan tuna, sungguh luar biasa potensi yang ada di sini,” ujar bapak tiga anak ini.

Berbeda dengan wilayah lain, kondisi Kantibmas di Kecamatan Tambora hampir selalu terjaga, tidak ada dinamika atau gejolak berlebihan yang terjadi, karena umumnya penduduk berkonsentrasi bekerja di ladang, sawah dan menangkap ikan di laut. Hanya saja, meski terkenal selalu bisa memertahankan kerukunan, pola pikir sebagian warga masih tertutup. Hampir tidak ada warga yang memanfaatkan fasilitas pusat internet kecamatan, meskipun sudah disiapkan pemerintah, karena menganggap teknologi tidak bermanfaat.

 “Hampir tidak ada masyarkaat yang memanfaatkan fasilitas internet. Tapi memang kelemahan selama ini, kelemahan lain, jarang pejabat kantor sini yang masuk, mereka lebih sering di Kota Bima karena aslinya di sana. Biasanya yang jaga stand by di kantor hanya saya dan teman-teman Pol PP, absen malah di bawa oleh mereka,” ujar Amin.

Menurut Amin, meskipun Kantibmas Kecamatan Tambora terkenal aman, namun anggota Koramil setempat tetap setia siaga di kantor setempat, demikian juga dengan anggota Polsek setempat. Hanya sesekali saja mereka kembali ke Kota Bima atau kampung halamannya. “Kalau nggak pergi main-main ke rumah penduduk yang sudah biasa akrab dengan saya, biasanya saya berkumpul dengan anggota Koramil atau Polsek membahas soal masyarakat, jadi tercipta suasana damai,” katanya.

Menurut Sekretaris Desa Labuhan Kananga Kecamatan Tambora, Buharuddin, sebenarnya desa setempat memiliki banyak potensi, terutama kelautan. Hanya saja umumnya, nelayan masih menggunakan cara dan peralatan terdisional, demikian juga petani, karena tanah tadah hujan. Warga setempat hanya mengandalkan musim. Saat musim hujan, umumnya nelayan beralih menjadi petani. 

“Banyak potensi yang dimiliki desa kami, termasuk hasil laut, hanya saja belum maksimal. Seandainya ada bantuan dan perhatian lebih dari pemerintah, maka ekonomi masyarakat juga meningkat,” katanya.

Diakui Burhanuddin, potensi lain yang bisa menyedot perhatian warga luar, yakni keindahan pulau Santonda yang tak jauh dari kantor Camat Tambora. Bahkan mendiang Pangeran Charles Kerjaan Inggris, Lady Diana pernah berkunjung di pulau tersebut puluhan tahun silam. “Umumnya warga luar yang datang ke sini sangat takjub dan ingin ke Satonda, meskipun pulau itu masih jadi perdebatan masuk Dompu atau Bima pada masyarakat. Dalam pulau ada burung raksasa yang punya telur raksasa juga tidak ada duanya di daerah lain,” katanya.

Setelah puas menikmati udara, pemandangan dan berbincang-bincang dengan penduduk di desa Labuhan Kanangan selama dua hari, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke desa Kawinda Nae. Untuk tiba di desa tersebut hanya butuh waktu beberapa menit, dengan kondisi jalan lumayan bagus dibandingkan sebelum memasuki ibukota Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu. Konon, menurut penduduk setempat, nama desa setempat berarti tanah luas yang subur.

Menurut Sekretaris Desa setempat, Kaharuddin, hampir separuh penduduk Kawinda Nae merupakan nelayan, sisanya petani dan berdagang. Tidak hanya nelayan setempat yang mencari ikan, potensi laut Kecamatan Tambora selalu menyedot perhatian nelayan dari wilayah luar. Bahkan, banyak nelayan bagang dari Kecamatan Kolo Kota Bima betah hingga berbulan-bulan menangkap ikan di Tambora. “Jumlah nelayan di sini cukup banyak, sebagaian menggunakan marine engine, terutama mesin ketinting 5 PK, tapi sebagian tanpa mesin. Nelayan di sini tidak berkurang, tapi malah bertambah. Alhamdulilah potensi laut kami luar biasa,” katanya.

Karena potensi laut setempat sangat menjanjikan hasil yang menguntungkan, sejak sebelum menjadi PNS, Baharuddin mengaku sudah terbiasa melakoni hari-hari sebagai nelayan. “Saya juga di sini sebagai nelayan, pegawai-pegawai pindahan di sini juga sangat hobi mancing, karena potensi ikan di sini sangat luar biasa, kalau mancing pasti dapat, bahkan bisa bawa pulang beberapa ember, terus bisa dijual,” katanya.

Sayang, kendati potensi tersebut menjanjikan keuntungan dan bisa menjadi solusi persoalan ekonomi masyarakat, hingga kini Kecamatan Tambora belum memiliki pusat pelabuhan. Padahal, setengah dari warga pesisir berkonsentrasi sebagai nelayan. Niat pemerintah menjadikan wilayah setempat Kota Mandiri Terpadu masih sebatas wacana.

Berbeda dengan desa Kawinda Nae dan Labuhan Kenanga, separuh penduduk desa Oi Panihi, berkonsentrasi sebagai petani dan bekerja pada perusahaan pengolahan kayu milik Baba Adi Hang Lyon. Konon, diakui sebagian penduduk setempat, sejak perusahaan milik pria keturunan Tinghoa asal pulau Lombok itu beroperasi, konsentrasi masyarakat merusak hutan mulai berkurang, karena pengusaha itu menekankan hanya akan membeli kayu dari hasil kebun rakyat yang memiliki SPPT. 

“Kalau kayu yang kami olah berasal dari kebun rakyat, kalau dari hutan apalgi hutan tutupan kami tidak berani, apalagi bisnis kayu sekarang harus jelas dokumennnya. Kami tekankan masyarakat agar sama-sama menjaga hutan, “ katanya.

Menurut Adi, sejak perusahaannya berkomitmen hanya membeli kayu hasil kebun rakyat, banyak masyarakat yang peduli menjaga hutan. Bahkan ramai-rampai menanam pohon yang bisa diproduksi. “Tidak hanya warga yang menanam, saya juga di kebun saya hingga beberapa hektar, khususnya pohon akasia. Kalau sudah lima tahun sudah bisa diproduksi, kami punya komitmen tetap menjaga hutan, karena jika rusak imbasnya kena semua orang,” katanya.

Setelah puas menyisir desa Oi Panihi termasuk di sekitar Unit Pemukiman Transmigrasi Oi Panihi Satuan Pemukiman (SP) 1 dan 2, saya dan teman-temman melanjutkan perjalanan ke desa Kawinda Toi, SP 3 dan 4, sekitar 40 kilo dari desa itu. Desa setempat tidak hanya memiliki keindahan hutan yang tampak hijau jika dilihat dari bawah. Namun, penduduk setempat cukup ramah dan rajin bekerja di ladang dan mencari ikan di laut.

Untuk mencapai desa Kawinda Toi, pengendara harus mampu bertahan dan beradaptasi dengan kondisi jalan yang rusak parah. Sebab berbeda dengan kondisi jalan sekitar ibukota Tambora, semakin mendekati wilayah Kecamatan Sanggar kondisi jalan semakin rusak, penuh batu dan lumpur setengah kering yang tebal. Bila tidak bisa beradaptasi atau tidak lincah mengendarai sepeda motor atau mobil, taruhannya, pengendara akan terjatuh dan nyawa melayang.

Setelah melewati jalan bergelombang sekitar 40 kilometer lebih dari desa Oi Panihi, setiap pengendara yang menuju rute Sanggar pasti akan melewati Oi Rai, sehingga harus siap-siap melewati sungai. Menurut cerita sejumlah warga sekitar, kondisi jalan sudah lama putus sejak diterjang banjir bandang beberapa tahun lalu. Umumnya, saat musim panas, cukup banyak pengedara yang mampir mandi di lokasi tersebut atau sekadar mampir mendinginkan mesin kendaraan setelah menempuh perjalanan jauh. Selain bisa menikmati keindahan alam, konon bila pengendara mampir mandi di sungai tersebut akan menyebabkan ketenangan saat menempuh perjalanan selanjutnya.

Selain melewati tanjakan, setelah dari Rai Oi menuju desa Kawinda Toi pengendara akan melawati hamparan kerikil dan lempung kering lebihkurang 30 kilometer. Bila tidak hati-hati bisa berbahaya. Selain itu akan dihadapkan rute yang membingkungkan, karena ada beberapa alternative jalan bila hendak menuju desa bagian ujung timur Kecamatan Tambora itu saat memasuki Satuan Pemukiman (SP) 3 dan 4. Saat melewati tanjakan dan jalan berlumpur, sepeda motor yang dikendarai saya sempat terbenam dalam lumpur dan terjatuh.

Bagi hampir seluruh warga Kecamatan Tambora yang sudah terbiasa melewati jalan yang rusak parah tersebut dianggap cukup mulus. Bahkan umumnya warga Kawinda Toi hanya memerlukan waktu 2 jam untuk tiba di Labuan Kanangan atau kurang dari satu jam untuk tiba di desa Kore ibukota Kecamatan Sanggar. Setelah menempuh perjalan 120 menit lebih, saya dan teman-teman bisa bertemu dengan aparat desa Kawinda Toi.

Menurut Kaur Desa Kawinda Toi, Nurdin Ibrahim, selain warga lokjal. Umumnya, cukup banyak warga asing yang berkunjung ke desa setempat, termasuk meneliti situs-situs sejarah dan melaksanakan pemetaan dan penelitian Geologi tentang gunung Tambora. “Cukup banyak peneliti Geologi dari Parancis dan Belanda yang naik gunung di sini, biasanya mereka tidak peduli kondisi alam baik jurang atau lokasi banyak ular, mereka tetap labrak,” katanya.

Diakui Nurdin, selain potensi perikanan laut, desa setempat memiliki potensi pertanian seperti kopi, madu, potensi wisata gunung dan laut. Sebelumnya, desa Kawinda Toi ditetapkan sebagai salahsatu jalur pariwisata gunung Tambora. “Cukup banyak pelancong yang datang ke sini, termasuk peneliti. Warga di sini pun selalu terbuka dan menyambut setiap tamu, mudah-mudahan ke depan wilayah kami semakin maju dan akses jalan segeera diperhatikan,” harapnya.

Nurdin berharap seluruh warga dan termasuk pengunjung menjaga kelestarian hutan dan situs sejarah Gunung Tambora. Hampir sama dengan desa lain di kecamatan tersebut, desa Kawinda Toi masih kental dengan hal mistis. “Sebelumnya banyak warga yang biasa berburu babi, sedikit demi sedikit hilang seperti ditelan bumi, karena gunung Tambora sulit menerima hal-hal kotor. Selama ini cukup banyak orang luar wilayah yang datang berburu rusa menggunakan senjata api, tapi tidak ada. Kijang baru bisa ditangkap kalau ada orang asli sini yang diajak berburu,” katanya.

Menurut beberapa warga setempat dan sesuai sejarah kerajaan Bima, Tambora merupakan gunung penuh mistis. Tamb berarti lekukan dan mbora berarti tidak tampak. Sebagaian warga memercayai letusan gunung tersebut ratusan silang sudah dapat diprediksi, karena diawali peristiwa saat tokoh agama setempat diperdaya masyarakat agar memakan anjing. Konon saat itu tokoh itu bersumpah jika benar memakan anjng, maka gunung Tambora akan meletus hingga malapetaka itu terjadi. Sebagian warga setempat memercayai, kampung yang hilang masih ada dan beberapa penduduknya akan nampak dan bisa dilihat warga lain bila ingin menampakkan diri. Cerita tersebut masih melekat dan dipercayai masyarakat Bima terutama pada mereka yang bermukim di sekitar gunung Tambora.

Setidaknya, pesona gunung Tambora yang terkenal letusannya hingga luar negeri itu juga menyedot perhatian Wamen ESDM RI, Widjajono Partowidagdo, berkunjung dan mendaki gunung itu. Dalam perbincangannya dengan rombongan dan sejumlah pejabat Dinas Pertambangan Kabupaten Bima dan Dompu, pria bersahaja itu berniat membangun sarana, prasarana pendukung dan menjadikan gunung Tambora sebagai objek goewisata. Sayang pria kalem itu lebih awal dipanggil sang pencipta sebelum misinya terwujud. (*)  

Postingan populer dari blog ini

Perjuangan M Sukri Mendidik Siswa Berkebutuhan Khusus

Tak gampang melaksanakan tugas sebagai guru, apalagi menjadi pendidik bagi siswa berkebutuhan khusus. Selaian kemampuan berinteraksi, juga membutuhkan kesabaran ekstra. Namun, beban pekerjaan itu sudah dilakoni, M Sukri (54), guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bima, sejak puluhan tahun lalu. Seperti apa?      Tak ada yang special dengan pemandangan Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bima, jalan Datuk Dibanta, Kelurahan Jatiwangi, Senin (29/9) lalu sekira pukul 10.00 Wita. Dari luar halaman tampak lengang. Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat di dalam. Memasuki lingkungan sekolah anak berkebutuhan khusus itu memang bagaikan memasuki dunia gelap anak-anak. Betapa tidak, di tempat tersebut nyaris tidak ada teriakan riang anak-anak, bahkan senyum anak pun sangat sulit ditemui.   Masuk ke SLB Kota Bima, jangan membayangkan, seperti memasuki sekolah umum atau kejuruan lain, meski terbilang masih pagi, sekitar pukul 10.00 Wita, nyaris tidak ada lagi siswa yang bertahan

Catatan Perjalanan Workshop Media di Kupang

Workshop media yang secara khusus membahas persoalan lingkungan terutama berkaitan konservasi  laut ekoregional Lasser Sunda digelar The Society of Indonesia Enviromental Journalist (SIEJ) dan The Nature Conservancy (TNC). Kegiatan yang diikuti 17 jurnalis dan editor dari Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara bertujuan  meningkatkan kapasitas jurnalis terhadap perilaku jurnalistik dan isu-isu lingkungan.  Perjalanan dari Bima menuju Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lumayan lama meskipun menggunakan pesawat terbang, waktu tempuh mencapai 4 jam lebih, jauh dari bayangan sebelumnya. Setelah menerima undangan sejak Kamis, beberapa hari sebelum kegiatan, sejumlah   peserta termasuk saya memantapkan hati untuk berangkat mengikuti kegiatan workshop, meskipun sempat ragu karena kuatir gangguan cuaca buruk. Hari Senin panitia kemudian mengirim kode (boking) pesawat. Jauh sebelum kegiatan, sekitar Maret lalu Abubakar penanggungjawab lapangan TNC di NTB menginformasi