Langsung ke konten utama

Catatan Perjalanan Workshop Media di Kupang

Workshop media yang secara khusus membahas persoalan lingkungan terutama berkaitan konservasi  laut ekoregional Lasser Sunda digelar The Society of Indonesia Enviromental Journalist (SIEJ) dan The Nature Conservancy (TNC). Kegiatan yang diikuti 17 jurnalis dan editor dari Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara bertujuan  meningkatkan kapasitas jurnalis terhadap perilaku jurnalistik dan isu-isu lingkungan. 



Perjalanan dari Bima menuju Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lumayan lama meskipun menggunakan pesawat terbang, waktu tempuh mencapai 4 jam lebih, jauh dari bayangan sebelumnya. Setelah menerima undangan sejak Kamis, beberapa hari sebelum kegiatan, sejumlah   peserta termasuk saya memantapkan hati untuk berangkat mengikuti kegiatan workshop, meskipun sempat ragu karena kuatir gangguan cuaca buruk. Hari Senin panitia kemudian mengirim kode (boking) pesawat.

Jauh sebelum kegiatan, sekitar Maret lalu Abubakar penanggungjawab lapangan TNC di NTB menginformasikan bahwa saya akan diundang pada kegiatan pelatihan jurnalistik tentang lingkungan, kegiatan yang didukung lembaga yang fokus pada masalah konservasi tersebut. Awalnya kegiatan direncanakan akan dilaksanakan di Jogjakarta. Namun belakangan sekitar September lalu, pria yang memiliki logat khas tersebut menginformasikan kegiatan akan dilaksanakan di Kupang NTT. Ia juga meminta dua nama wartawan yang bertugas di Dompu dan Mataram, yang juga akan diundang sebagai peserta. Saat itu saya mengirim dua nama rekan jurnalis yang akrab.  Belakangan diketahui, TNC berkolaborasi dengan SIEJ dalam melaksanakan kegiatan.

Merasa sudah menyiapkan seluruh kebutuhan dan kelengkapan selama di Kupang. Saya dan Nasarullah, rekan jurnalis Suara NTB yang bertugas di Dompu sepakat untuk bertemu di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima, Selasa (14/1) pagi. Sebelumnya, Jum,at rekan di Mataram, Haris Mahtul sempat mengajak agar star dari Bandara Internasional (BIL) Lombok Tengah. Namun setelah berkomunikasi dengan panitia menghindari rute panjang. Akhirnya sepakat dengan rekan di Dompu agar melalui bandara di Bima.  Sekitar pukul 10.20 Wita pesawat take off dan tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar Bali, setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam 10 menit. Beberapa menit kemudian kami harus turun dan mengurus tiket untuk melanjutkan perjalanan ke Kupang. Meskipun hari itu cuaca masih sedikit bersahabat. Bayangan kuatir tetap saja menyelimuti saya, meskipun beberapa penumpang lain tampak tenang, apalagi pesawat yang  transit jenisnya foker bukan boing yang menggunakan mesin jet seperti bayangan saya dan rekan yang ikut. Masalahnya, sebelumnya sempat mendengar cerita dari paman yang berkerja di Kementrian dan hampir sudah mengelilingi seluruh daerah di Indonesia, kadang menghindari penerbangan menuju wilayah Timur setelah NTB atau menuju Sulawesi. Karena menurut beberapa orang, kondisi penerbangan menuju wilayah Timur kurang bersahabat. Ya masuk akal juga, karena di Indonesia Timur banyak gunung menjulang termasuk vulkanik. Saya pikir efek magnetik dari gunung juga bisa memengaruhi aktivitas penerbangan. Apalagi dalam teorinya geometri normal penerbangan hanya optimal pada fase jelajah.

Benar saja kekuatiran saya, saat pesawat hendak mendarat (landing) di Bandara Komodo Labuan Bajo dan tinggal beberapa beberapa kaki,  tiba-tiba bermasalah. Namun hanya beberapa detik. Praktis sejumlah penumpang kaget dan pucat, rekan saya sontak  mengucapkan Allahu Akbar. Tetapi setelah itu pesawat bisa mendarat dengan normal. Saat itu, saya pikir bagasi dan kabin pesawat agak sarat. Keinginan mampir foto di sekitar bandara mendadak hilang setelah kondisi tegang menghampiri.


Hanya beberapa menit pesawat berhenti menurunkan beberapa penumpang. 50 menit kemudian dilanjutkan menuju Bandara H Hasan Aroeboesman Kabupaten Ende NTT, sebelum connecting flight menuju Kupang. Setelah insiden menegangkan, sepanjang perjalanan saya berzikir dan membaca asmaul husna yang saya hafal. Pramugari menginformasikan kepada kami bahwa perjalanan dari Ende ke Kupang ditempuh 50 menit. Benar saja, setelah itu pesawat bisa mendarat dengan mulus di Bandara El Tari, meskipun cuaca sekitar pukul 16.10 Wita saat itu tampak mendung. Setelah menyempatkan berfoto untuk menghilangkan ketegangan. Beberapa menit setelah itu kami ditemui resepsionis cantik hotel Swiss Belinn Kristal Kupang, tempat kami menginap dan kegiatan akan dilaksanakan. Di halaman parkir mobil hotel sudah menunggu. Ternyata di dalam mobil juga sudah ada peserta lain, Lenny Pande (Bali Media Duta) yang sama satu pesawat dengan kami. Namun mobil hotel tak langsung mengantar kami, namun menunggu peserta lain, Koresponden Tempo di Bali, Putu Herry Indrawan.

Setelah itu mobil hotel bergerak membelah kota Kupang. Dari kiri-kanan tampak beberapa pohon hijau menjulang, lebih hijau dari Kota Bima atau Mataram. Hal utama yang kami perhatikan saat itu kebersihan Kota. Namun pada beberapa sudut kota sejak dari bandara, beberapa alat peraga kampanye calon anggota legislatif dan Presiden terlihat menghiasi ruas jalan dan pohon-pohon tampak aman dari penertiban oleh penyelenggara Pemilu. Sayang, kotanya sudah rapi tapi masih dikotori beberapa alat peraga yang tidak memerhatikan estetika. Perjalanan dari Bandara El Tari menuju hotel ternyata hanya 15 menit. Usai melapor dan mendapatkan kunci kamar pada lobi hotel, kami kemudian langsung  istrahat beberapa menit di kamar setelah melaksanakan sholat ashar. Awalnya, kami pikir sulit mengetahui arah kiblat apalagi tidak membawa kompas atau GPS. Namun ternyata dalam hotel sudah menyiapkan tanda arah kiblat dan setelah keliling ternyata di hotel tersebut juga terdapat mushallah mini lengkap dengan sajadah dan perlengkapan sholat lainnya.

Kesulitan kami berikutnya yang belum terbayang sebelumnya adalah mencari nasi. Namun rekan saya Nasarullah punya ide untuk membeli nasi Padang. Menurutnya, masakan khas dan bumbu Minang itu hanya bisa dibuat oleh penjual asli dari Sumatera Barat. Hingga lebih terjamin halal. Setelah selesai makan, mandi dan melaksanakan sholat magrib, kami kemudian berkumpul untuk makan malam (dinner) di lantai 2 hotel, sambil berkenalan dengan peserta lain dan panyelenggara. Dua peserta lain dari NTB,  Supriyanto Khafid (Koreponden Tempo di Mataram) dan Yusuf Riaman (Media Indonesia) ternyata lebih awal tiba di hotel setelah melalui rute perjalan dari BIL-Juanda-El Tari Kupang. Hanya Haris Mahtul, peserta dari NTB yang batal ikut karena anggota keluarganya sakit.

Usai makan malam, kami menyempatkan diri melihat suasana malam Kota Kupang, di depan hotel yang berbatasan dengan jalan raya. Beberapa kendaraan seperti sepeda motor dan Angkot tampak hilir mudik. Menurut satpam  hotel tempat kami menginap, masyarakat  setempat cukup ramah. Anggkutan umum kadang beroperasi hingga malam, namun taxi cukup sulit ditemui. Berbeda dengan di Kota Mataram, ibukota Provinsi NTB. Jika pun ada taksi  tidak sama menggunakan mobil jenis sedang tetapi kendaraan seperti Avansa maupun Inova. Jarak antara hotel kami menginap dengan perbatasan Timur Leste hanya sekitar 300 kilometer dengan waktu tempuh 6-7 jam.  Dari cerita beberapa warga, Nama Kupang  berasal dari nama seorang raja, yaitu Nai Kopan atau Lai Kopan, yang memerintah Kota Kupang sebelum bangsa Portugis datang ke NTT.  Luas Kota Kupang adalah 180,27 kilometer per segi dengan populasi penduduk sektiar 450 ribu jiwa. Umummnya, Kota Kupang menjadi tujuan transit dan bisnis meeting beberapa pengusaha sejumlah daerah, termasuk wilayah sekitar seperti Sumba dan Jawa. Setelah puas melihat suasana sekitar hotel, peserta kemudian kembali ke kamar masing-masing. 

Sekitar pukul 07.30 Wita, satu per satu peserta sarapan di Barrio Resto hotel setempat. Suasana pantai, suara deburan ombak dan warna biru air kolam renang seakan menambah nikmat breakfast. Beberapa makanan laut (seafood) menggugah selera. Saya lebih memilih nasi goreng dan telur omlet. Banyak suana berbeda jika dibandingkan beberapa hotel di NTB, tempat saya pernah menginap. Pagi hari tamu hotel sudah disuguhkan alunan musik Sasando yang begitu khas. Beberapa lagu yang dimainkan begitu tenar di telinga, seperti lagu Kokorotomo (Mayumi Itsuwa), sampai-sampai rasanya ingin membeli dan membawa pulang alat Sasando. Namun karena sadar butuh keahlian khusus memainkan rencana itu akhirnya buyar.

Usai menyelesaikan sarapan, sekitar pukul 09.00 Wita peserta langsung mulai mengikuti workshop pada ballrom hotel. Satu per satu peserta yang dimulai Direktur SIEJ, IGG Maha Adi mengenalkan diri dan menyampaikan pengalaman dan hambatan saat meliput  isu lingkungan. Kegiatan dipandu Maria Verly Rambu,  jurnalis Victory News. Selain 17 jurnalis, pembukaan workshop juga dihadiri tim TNC dari Hongkong dan Eropa, serta perwakilan Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Tak berselang lama, Wakil Gubernur NTT, Drs Benny Alexander Litelnoni hadir bersama pejabat Badan Lingkungan Hidup (BLH) NTT dan Country Director The Natural Consevancy  Indonesia, Rizal Algamar.  Lagi-lagi kami peserta dari NTB, belajar suasana yang berbeda. Di NTT, sikap kekeluargaan dan penghormatan terhadap pejabat cukup tinggi. Sebelum Wagub setempat tiba di ballroom, peserta diminta berdiri.

Setelah pembukaan (key speak) oleh Wagub NTT dan Country Director TNC Indonesia, materi hari pertama disampaikan mantan wartawan senior Suara Pembaharuan, Jack Adam. Ada beberapa hal berkesan yang disampaikan pemateri dan peserta. Supriyatho Khafid menceritakan pengalaman saat bertugas di Kupang dan beberapa daerah di Indonesia. Pengalaman yang sulit dilupakan saat ditugaskan meliput pada salahsatu wilayah terpencil di NTT, tahun 1980-an, saat menumpang kapal kayu, tiba-tiba diterpa gelombang tinggi dan nyaris tewas bersama penumpang lain. Seluruh peserta lain juga mengungkapkan beberapa pengalaman dan kondisi “medan” tugas masing-masing.

Pada hari kedua workshop, materi teknis tentang lingkungan disampaikan sejumlah Akademisi di Kota Kupang  Dekan Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang, Rusydi, S.Pi, M.Si,  Akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Ayub Meko, Pejabat Bappeda NTT, Gaspar Enga, SE, M.Si. Bagi sejumlah rekan yang lain, materi hari kedua cukup sulit dimamah, apalagi yang dibahas terlalu teknis termasuk berkaitan dengan reaksi kimia. Namun tidak demikian bagi saya yang sebelumnya menempuh kuliah pada Fakultas teknik dan Program Studi Fisika. Saat kuliah materi tentang lingkungan, reaksi Kimia dan Fisika sudah akrab dengan saya, sehingga workshop sangat membantu menambah wawasan dan bisa mendukung kemampuan menulis hal terkait.

Menjelang petang, usai kegiatan saya dan Nasarullah, rekan wartawan Suara NTB, mencoba keliling Kota Kupang. Kami sengaja tidak menggunakan taxi atau Angkot dan lebih memilih meminjam sepeda motor satpam hotel agar puas melihat sudut-sudut kota. Menurut beberapa orang di hotel, meskipun pertamakali ke Kupang, namun tidak akan sampai tersesat saat mengelilingi kota karena jalurnya gampang dihafal. Jarak antara hotel Swiss Belinn dengan pusat perbelanjaaan Kota Kupang sekitar enam kilometer. Sepanjang pantai sebelum pusat perbelanjaan (toko) dipadati warga terutama muda-mudi. Beberapa tampak asyik bercengkrama sambil memandang laut. Model pantainya mirip Ama Hami di Kota Bima.  Di Kota Kupang juga tidak sulit menemukan beberapa masjid. Saat melewati jalan Soekarno, Islamic Center masjid raya Kupang Nurussa’adah, mudah dijumpai.

Bangunan-bangunan di Kota Kupang tampak padat dan sedikit lebih megah dibandingkan Kota Bima atau Kota Mataram. Hanya saja bedanya saat menuju pusat kota akan melewati jalan bergelombang naik-turun. Saat kami berkunjung bertepatan hujan mengguyur kota setempat. Beberapa ruas jalan digenangi rembesan air hujan setinggi 10 centimeter. Rupanya, menurut rekan   Jurnalis Victory News, Maria Verly Rambu, kondisi seperti itu sudah akrab dengan warga kota Kupang dan menjadi pemandangan umum saat musim hujan. Persoalan kondisi jalan yang bergelombang menyulitkan penataan saluran irigasi.

Pada hari jumat pagi usai sarapan, peserta dan panitia penyelenggara sepakat berkumpul di lobi hotel sebelum field trip, berkunjung suku Baineo dan lokasi Nifu (Lilifuk) di pantai Eno Loles Kupang Barang, kawasan LSE yang dikelolah suku Baineo dan Desa Kuanheun. Rombongan berangkat dan dibagi beberapa mobil. Namun sebelum tiba di lokasi, sebagian menyempatkan diri foto di situs kuburan Belanda yang tak jauh dari pusat kota. Menurut Alfred, wartawan RRI Kupang yang satu mobil dengan kami dengan peserta lain, kadang-kadang warga Belanda, kerabat pasukan VOC, pernah berkunjung dan berziarah di kuburan setempat. Sepanjang jalan, Alfred menjadi penunjuk jalan (guide) bagi kami peserta dari luar daerah. Di kota tersebut, media massa cetak dan radio juga mendapat tempat bukan saja pada kalangan pemerintah namun hingga masyarakat awam sudah melek membaca. Maka tak heran koran baru, seumur jagung pun sudah memiliki banyak pembaca (langganan). Namun semuanya dikelolah secara profesional memiliki percetakan masing-masing,  tidak bergantung pada pemilik modal lain. Hal ini juga  disampaikan seorang rekan yang juga Redaktur Pelaksana (Redpel) Timur Ekspress, Stanley. Sejak pukul 22.00 Wita seluruh pekerjaan redaksi sudah tuntas, sehingga koran bisa didistribusikan kepada pembaca sejak subuh. Namun syarat wartawan harus disiplin. Untuk terbitan hari Minggu dituntaskan sejak Sabtu.

Selain memiliki kekeyaan potensi kelautan dan pariwisata, selama ini  Kota Kupang dikenal aman. Maskipun masyarakat heterogen terdiri dari sejumlah suku dan agama, namun tetap saling menghormati. “Kalau saat lebaran pemuda-pemuda Kristen yang menjaga hari raya Islam di sini. Begitu juga sebaliknya pas Natal maka tokoh-tokoh Islam yang menjaga hari raya Kristen. Di sini tolerensinya tinggi, saling menghormati,” ujar Alfred.

Jauh dari bayangan tentang kriminalitas saat mengelilingi kota malam hari,  Kupang tetap aman. Oknum tertentu yang berbuat onar apalagi menganggu pendatang akan

Jalur yang kami tempuh kemudian melewati terminal Boilo. Sepanjang jalan menuju Desa Kuanheun Kupang Barat, pohon besak tampak merindangi kiri dan kanan ruas jalan. Setelah menempuh perjalan sekitar 30 menit, sekitar pukul 09.10 Wita seluruh rombongan peserta workshop konservasi kelautan, tiba di desa  rumah Kapala Suku Baineo, Eduard Baineo. Setelah berbicang-bincang belasan menit. Rombongan kemudian melanjutkan kunjungan ke kolam laut, Lilifuk dalam kawasan LSE. Untuk menjangkau lokasi tersebut peserta harus  berjalan kaki hingga ke arah laut. Sekitar pukul 11.00 Wita tiba kembali di hotel. Lantaran masjid cukup jauh dari hotel. Hari itu, kami peserta dari NTB sepakat sholat zuhur di kamar masing-masing.

Ba’dah Jumat kegiatan dilanjutkan diskusi hasil field trip, rencana penulisan artikel (berita) dan pembentukan simpul SIEJ. Momentum tersebut sekaligus dimanfaatkan peserta untuk menyampaikan saran untuk  workshop tentang lingkungan selanjutnya. Jumat malam peserta sepakat dinner di restoran Nelayan yang tak jauh dari hotel. Kami disuguhkan makanan khas seafood NTT seperti Woku, sup kuah asam, ikan bakar yang sungguh nikmat. Bahkan karena tidak ingin melupakan menu malam itu, rekan kami yang lainnya dari NTB, Supryanto Khafid dan Yusuf Riaman, sampai sibuk mencatat mendokumentasi makanan yang disajikan. Makanan malam itu akan membuat siapapun ketagihan.

Menuntaskan dinner saya dan beberapa rekan jurnalis seperti Lenny Pande, Ratih Rimayanti, Maria Verly Rambu, Nasarullah, dan Putu Herry Indrawan, tak langsung memilih kembali ke hotel. Kami membelah malam di Kota Kupang menggunakan satu mobil sambil santai mendengarkan music party. Dari dalam kaca mobil kami mengamati suguhan suasana malam melewati mall Ramayana, pantai-pantai yang penuh hiruk pikuk muda-mudi, melewati taman nostalgia di Kota Kupang yang penuh dengan kehidupan malam. Ada beberapa tampilan bangunan yang bikin kami takjub seperti rumah dinas Wali Kota Kupang tampak megah dan luas di antara deretan bangunan di sekitar. berbeda jauh dengan rumah dinas Wali Kota, Bupati di Bima maupun pendopo Gubernur NTB. Rekan saya Ratih tak mengira jika bangunan yang dilihatnya adalah rumah dinas Wali Kota. Pikiran kami langsung mengarah tentang PAD dan APBD Kota setempat.

Puas mengelilingi Kota Kupang dan membeli suvernir ala kadarnya, sekitar pukul 22.15 Wita kami kembali ke hotel dan sepakat untuk bangun lebih awal berkumpul di lobi hotel, kemudian check in satu jam sebelum jadwal pesawat. Sekitar pukul 04.30 Wita kami berkumpul di lobi menuju Bandara El Tari, diantar dengan kendaraan hotel sambil sarapan roti yang sudah disiapkan. Meskipun hari  subuh antrian di bandara ibukota NTT tersebut terbilang padat. Setelah antri dan boarding pass beberapa menit, satu jam kemudian  pesawat yang kami tumpangi tiba di Bandara Frans Seda Maumere. Saat rute menuju Denpasar, penumpang akan disuguhkan pemadangan danau tiga warna gunung Kalimutu NTT. Hari itu cuaca cukup bersahabat, sekitar pukul 09.20 Wita pesawat yang kami tumpangi tiba di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Dua rekan wartawan senior yang bertugas di Mataram kembali dengan melalui jalur BIL, sedangkan saya dan Nasarullah menunggu transit hingga tiga jam.


Sekitar pukul 14.10 Wita, kami tiba di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima, setelah mengikuti workshop dan mengelilingi beberapa sudut Kota Kupang. Kota yang tak kalah menarik,  memiliki ciri khas sendiri dibandingkan Mataram, Denpasar atau Surabaya dan daerah lainnya di Indonesia. (*)

Postingan populer dari blog ini

Mengunjungi Desa-Desa Terpencil di Tambora

Kecamatan Tambora Kabupaten Bima Provinsi NTB kerap menarik perhatian setiap orang untuk berkunjung ke sana, tidak hanya karena keindahan hutan dan misteri gunungnya, namun juga sejumlah potensi di wilayah itu seperti hasil perikanan dan pertanian, situs geologi menjadi magnet bagi warga luar. Berikut catatan Fachrunnas.   Ada dua alternatif jika ingin ke ibukota Kecamatan Tambora Kabupaten Bima, setelah tiba desa Soriutu Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu pengendara bisa melanjutkan perjalanan melalui Kecamatan Pekat. Jika melalui jalur tersebut, pasti akan melewati desa Nanga Miro Kabupaten Dompu, sedangkan jalur alternatif lain akan melalui sejumlah desa di Kecamatan Sanggar seperti Taloko, Sandue, Kore, dan Piong. Karena jalan setelah Kecamatan Sanggar sangat parah dan jarak antar-desa sangat jauh, umumnya pengendara lebih banyak memilih jalur melalui Kecamatan Pekat, termasuk yang dipilih saya dan saat berkunjung ke Kecamatan tersebut Sabtu lalu. Jika menemp

Perjuangan M Sukri Mendidik Siswa Berkebutuhan Khusus

Tak gampang melaksanakan tugas sebagai guru, apalagi menjadi pendidik bagi siswa berkebutuhan khusus. Selaian kemampuan berinteraksi, juga membutuhkan kesabaran ekstra. Namun, beban pekerjaan itu sudah dilakoni, M Sukri (54), guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bima, sejak puluhan tahun lalu. Seperti apa?      Tak ada yang special dengan pemandangan Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bima, jalan Datuk Dibanta, Kelurahan Jatiwangi, Senin (29/9) lalu sekira pukul 10.00 Wita. Dari luar halaman tampak lengang. Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat di dalam. Memasuki lingkungan sekolah anak berkebutuhan khusus itu memang bagaikan memasuki dunia gelap anak-anak. Betapa tidak, di tempat tersebut nyaris tidak ada teriakan riang anak-anak, bahkan senyum anak pun sangat sulit ditemui.   Masuk ke SLB Kota Bima, jangan membayangkan, seperti memasuki sekolah umum atau kejuruan lain, meski terbilang masih pagi, sekitar pukul 10.00 Wita, nyaris tidak ada lagi siswa yang bertahan