Tak gampang melaksanakan tugas
sebagai guru, apalagi menjadi pendidik bagi siswa berkebutuhan khusus. Selaian
kemampuan berinteraksi, juga membutuhkan kesabaran ekstra. Namun, beban
pekerjaan itu sudah dilakoni, M Sukri (54), guru Sekolah Luar Biasa
(SLB) Kota Bima, sejak puluhan tahun lalu. Seperti apa?
Tak ada yang special dengan pemandangan Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bima, jalan Datuk Dibanta, Kelurahan Jatiwangi, Senin (29/9) lalu sekira pukul 10.00 Wita. Dari luar halaman tampak lengang. Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat di dalam. Memasuki lingkungan sekolah anak berkebutuhan khusus itu memang bagaikan memasuki dunia gelap anak-anak. Betapa tidak, di tempat tersebut nyaris tidak ada teriakan riang anak-anak, bahkan senyum anak pun sangat sulit ditemui.
Masuk ke SLB Kota Bima, jangan membayangkan, seperti memasuki sekolah umum atau kejuruan lain, meski terbilang masih pagi, sekitar pukul 10.00 Wita, nyaris tidak ada lagi siswa yang bertahan atau mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). “Kalau siswa di sini, pulangnya cepat, paling telat jam 10 pagi, berbeda dengan sekolah lain karena siswa di sini berbeda dengan sekolah umum lainnya,” jelas, M Sukri, Pembina Tuna Netra (Kelas A), beberapa saat setelah melihat kondisi sekolah itu.
Sudah 25 Tahun, M Sukri mengabdi di SLB Kota Bima. Soal duka jangan ditanya lagi, Namun yang terpenting bagi pria asal Bantul Jogjakarta ini, bisa mengubah keterbelakangan mental anak-anak berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah itu. “Kalau ingat-ingat duka sebenarnya banyak, tapi yang terpenting bagi kami adalah bisa mendidik dan membuat siswa sukses bisa memiliki masa depan yang cerah,” katanya.
Hingga Tahun 2010, sedikitnya ada 65 anak berkebutuhan khusus yang ditampung di sekolah tersebut, dibagi empat kelas, masing-masing, sesuai kondisi fisiknya, kelas A misalnya, khusus untuk tuna netra, Kelas B, khusus untuk penyandang tuna wicara, tuna grahita tuna rungu, down syndrome (autis).
Rata-rata siswa yang dibina merupakan anak dari kelompok masyarakat berekonomi menengah ke bawah. Mata pelajaran yang diajarkan, tidak berbeda dengan sekolah lain. Siswa berkebutuhan khusus juga diajarkan mata pelajaran umum, seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. “Perbedaannya mungkin, hanya jumlah jam pelajarannya saja, karena harus disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi siswa di sini. Setelah tamat, ada beberapa siswa yang lanjut ke sekolah umum,” katanya.
Menurut M Sukri, tak gampang membimbing siswa berkebutuhan khusus, selain membutuhkan keahlian yang sesuai jurusan, juga memerlukan modal sabar dan keuletan dalam mendidik mental siswa. Guru kelas tuna netra misalnya, harus mampu menguasai huruf broiler. Jika tidak, dari awal bisa dipastikan gagal membina masa depan siswa berkebuuha khusus. “Mengajar siswa di sini penuh tantangan, seluruhnya kami coba lakoni dengan sabar dan kami anggap sebagai bagian dari ibadah,” ujarnya.
Diakui ayah dari lima anak ini, pengalaman terberat ketika menghadapi siswa berkebutuhan khusus, saat membina penderita down sydrome. Saat itu salahsatu siswa dari kelas C, tiba-tiba kabur dari sekolah dan keliling lingkungan sekitar tanpa sepengetahuan guru setempat. Padahal seluruh guru dibebani tugas harus bertanggung jawab terhadap aktivitas siswa yang ditampung.
“Paling susah diatur, kelas C, karena memang penderita autis bergerak dan melakukan sesuatu tanpa mereka bisa kontrol. Tapi alhamdulillah, kalau siswa yang memukul anggota badan atau temannya yang lain di sini belum ada,” katanya.
Beban tugas yang pernah diemban Sukri terasa ringan, setelah melihat sejumlah siswa yang pernah dididiknya berhasil dan memiliki masa depan yang cerah. Bahkan, dari sejumlah alumnus sekolah itu, dua orang di antaranya berhasil menjadi PNS, setelah menamatkan kuliah di Universitas Negeri favorit di Pulau Jawa. Satu orang diangkat sebagai PNS di Bandung dan satu orang lainya mengabdi sebagai guru salahsatu SMA Negeri di Kota Bima.
“Kami sangat puas dan bangga, ternyata usaha kami selama ini mendidik siswa tidak sia-sia, mereka bisa berhasil dan mampu membuktikan bisa bersaing dengan manusia normal lainnya,” ungkapnya.
Melihat masih banyak jumlah penyandang cacat di antara masyarakat, Sukri berharap, pemerintah membantu mewujudkan asrama di sekolah itu, menimal menyiapkan pengasuh sehinggga pembinaan terhadap disabilitas semakin maksmial. “Kalau ruangan sebenarnya sudah ada, tapi selama ini pengasuhnya yang tidak ada,” katanya.
Karir Suami Siti Rohima ini sebagai guru SLB Kota Bima, dimulai setelah menamatkan pendidikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB)